Hotel Melati

"AH~"
"OH~"
"Ummhh~"


Bisik-bisik tetangga.


Ini arti sesungguhnya. Atau.. Lenguhan-lenguhan tetangga.


Saya duduk di tempat tidur kayu dengan keadaan seadanya.


Lenguhan-lenguhan itu mengisi kesenyapan ruangan lembab yang saya tempati. Bahkan, saya sedikit nakal untuk membayangkan apa yang wanita itu rasakan sekarang.
Tersenyum sendiri.
Menyeringai sendiri.
Cekikikan sendiri.


"Ohhhh Yesss~" seru wanita itu dari balik tembok. 


Mungkin wanita itu sudah mencapai orgasme. Dan mungkin sekarang pasangan di sebelah kamar saya sedang bercengkrama, atau memakai pakaian lagi.


Pikiran saya memang nakal. Mungkin sebaiknya saya menyusul ke kamar mandi sambil menelanjangi pikiran saya. Dan bersiap diri untuk merasakan Pendaran Kembang Api yang menanti.


-di bulan September di tahun 2006-





Stasiun Pagi

Pukul 04.30 WIB. Matahari belum muncul. Langit gelap masih tertidur dikala para penjemput serta pendatang berlalu lalang dengan berbagai ekspresi. Ada wajah lelah, wajah ngantuk, wajah gembira, wajah datar, dan lain-lain.

Saya duduk di bangku yang sudah disediakan pihak stasiun untuk para pendatang yang kelelahan akan perjalanan jauh. 
Saya memang lelah. 
Kereta ekonomi yang saya tumpaki pun sudah mulai menjalankan mesinnya lagi dan berlalu dengan kecepatan siput. Mungkin kereta itu juga perlu istirahat dari dahsyatnya angin malam semalam. 

Berkali-kali saya melihat jam tangan lapuk saya. Bukan sedang menunggu orang, melainkan menunggu hidayah kemana langkah kaki berikutnya akan menapak. 
Saya di kota kecil. Kota kecil asing yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Udaranya segar, mungkin karena kota ini memiliki gunung besar yang mengitari isi kotanya. Anginnya pun berbau amis, berarti di kota ini terdapat pantai yang tidak jauh dari stasiun berada. 

"Yah..mungkin sarapan bisa nambahin tenaga.." ucap saya sendiri,berbisik.

Saya melihat sekeliling saya, penumpang-penumpang yang satu kereta dengan saya sepertinya sudah berpulang ke tujuannya masing-masing. Beberapa tukang rokok dan jualan lainnya sedang sibuk menghitung hasil pendapatannya pagi ini. 

Ada satu yang jadi pusat perhatian saya. Ada gadis kecil yang sedang terlelap dengan sarung pemberian ibunya yang duduk sambil menawarkan dagangannya ke orang yang melewati keduanya. 
Sangat Nyaman. Gadis yang mungkin belum genap 6 tahun itu merengkuh sarungnya erat. Ibunya, masih sibuk dengan pandangan berharap.

Saya kembali menyenderkan punggung saya. Mata saya masih memperhatikan gerak gerik sang Ibu yang sesekali mengusap kepala anak gadisnya itu. Sebenarnya hal ini tidak membuat saya iba, karena pada zaman susah dimana ekonomi makin tidak bersahabat dengan rakyatnya seperti sekarang, memaksa kita semua melihat hal yang (sangat) lazim ini. 

Ibu itu memijat mijat tengkuknya. Tubuhnya gempal. Baju yang dia kenakan sudah tidak pantas, begitupula kerudungnya.  

Air mukanya gak santai..

Lelah, Kantuk menyergap. Ibu itu menguap lebar. Sesekali wajahnya tampak marah. Sesekali wajahnya kembali lembut. Sesekali dia mengeluarkan nafas yang berlebihan hingga bibirnya maju-maju. 
Anak gadisnya bergerak di balik sarung yang menutupi tubuhnya. Seperti anjing yang mimpi buruk. Ibunya menenangkannya. Diusap punggung si kecil sembari meneriakkan merk dagangannya. 

Saya melihat apa yang diperdagangkannya. Jika wanita perawan,mungkin akan lebih menarik. 
Dia menjual sandal-sandal kayu, yang memiliki fungsi akupuntur. Tidak menarik. Tapi apa boleh buat, mungkin ibu ini membawa titipan produsen yang mencari wajah-wajah seperti ibu ini untuk diperbudak. Mengapa saya bilang diperbudak? Ya sudah pasti, keuntungan yang di dapat ibu ini masih belum sanggup untuk membeli makan di Warteg semurah apapun selama 3 hari.

Menu hari ini:
anak: "Bu, aku lapaarrr"
ibu: "oh..lapar, kita makan nasi sama tempe ya.."
anak: "oke"

Menu Besok:
anak: "Bu, aku lapaarrr"
ibu: "oh..lapar, kita makan nasi sama tempe ya.."
anak: "oke"

Menu Lusa:
anak: "Bu, aku lapaarrr"
ibu: "oh..lapar, kita makan nasi sama tempe ya.."
anak: "tapi aku mau tahu"
ibu: "harga tahu naik, Nduk, ibu gak bisa beli"
bapak: "tapi bapak, mau KFC, bu"

Itu hanya narasi di dalam kepala saya, saudara-saudara. Hanya mengira-ngira. Saya juga bukan orang kaya, tapi saya juga bukan orang susah, saya masih bisa makan KFC meskipun itu hanya paket Rp 7000 (belum dengan ppn).

Kembali lagi pada ibu dan si anak gadis yang sekarang sedang menangis kencang. air mata-nya mengalir bersamaan dengan ingus. Membuat saya tergelitik untuk berfikir. 
'jangan sampai anak gue nangis bersamaan dengan ingus'

Saya beranjak dari kursi saya. Mataharikan belum memancarkan senyumnya, jadi, saya pindah duduk untuk memakan jarak lebih dekat dengan subjek analisa saya ini. (padahal saya hanya mengamati, tidak bermaksud menganalisa).

Ibu itu tampak menghapus tangisan anak gadisnya yang sekarang sudah dipangkuan pahanya yang empuk. Sarung yang membalut tubuh anaknya, terkalung bebas di sekitar leher sang ibu.-membuat dia tampak semakin gempal-

Orang-orang yang melaluinya hanya terpana (sambil jalan) lalu berlalu. Gara-gara anaknya menangis histeris bagai kesurupan, ibu itu tidak bisa berjualan.

'Nasib memang, jika sedang bekerja sambil bawa anak.'

Mungkin kalau bekerjanya hanya arisan, gak apa-apa kali ya? (sebagian ibu rumah tangga first class menganggap bahwa Arisan adalah pekerjaan). 

Untuk sebagai tukang dagang yang baik, harusnya ibu itu memiliki manajemen yang baik, harusnya dia bisa mempromosikan barang dagangannya dengan menggunakan salah satu barangnya.
ups....
ternyata ibu itu sudah pakai. 

Saya melihat jam tangan. 05.00 WIB.
Beberapa kali saya menguap. Ibu itu menguap juga dari jarak 5 meter. 

"Prestasi anda apa selain anda penyanyi"
"Saya pernah menguap bersamaan dengan ibu-ibu jualan sandal pijit di stasiun" 
"wow.."

Anda tidak akan mendapatkan reaksi 'wow' seperti di dialog diatas. Itu hanya konotasi buruk. Dangkal.

Saya melihat sepatu kets saya. Saya melihat tas ransel saya. Saya melihat ibu dan anak gadis itu. Saya mencium bau tidak sedap. Oh-ketek saya. 
Saya perlu mencari penginapan untuk membersihkan diri dan kembali siap untuk menjelajah. Sudah tidak ada waktu untuk menunggu matahari. Matahari cukup lelet muncul di Jawa bagian timur. 

Saya beranjak. Mendekati Ibu dan anak itu. Anak gadis itu sekarang bertepuk tangan riang dengan wajah sembabnya. 
Saya berdiri di depan mereka.
Ibu itu melihat saya, sambil berkata "sandal, Mbak"
Saya terdiam. Melihat nasi bungkus yang tergeletak di samping ibu itu. Seperti sisa makan malam yang akan dilanjutkan pagi ini. Tentu saja, sebagai orang normal, saya terenyuh.

"Berapa bu?"
"Sepasang 15ribu aja, Mbak" selorohnya sumringah sambil menunjukkan sandal dagangannya.
Di kantung jaket saya, tersisa Rp 50.000. 
"saya mau,Bu. 1" jawab saya, ramah.
"Alhamdullilah, sebentar ya Mbak, di-kresek-in dulu" Ibu itu terburu-buru memasukkan sandalnya kedalam kantung plastik hitam. 

Saya membuka sepatu saya, di depan ibu itu. Ibu itu menyodorkan kantung plastik ke depan saya. Saya mengambilnya, mengeluarkan isinya dan memasukkan sepatu kets saya. 
"Langsung dipake tho, Mbak?"
"Iya Bu." saya merogoh saku jaket, dan memberikan lembaran uang berwarna biru. "Kembaliannya buat Ibu, buat si kecil juga."
Ibu itu terperangah, matanya berkaca-kaca. Saya tersenyum. Ada kepuasan di dalam saya.

'Dengan ini, Ibu bisa ajak Bapak makan di KFC' pikir saya bijaksana. 

Ibu itu berterima kasih terlalu berlebihan. Saya memutuskan tidak mendengar ; "Semoga mbak ini, dikasih rezeki sama Allah SWT, dipercayakan nabi Muhammad SAW sebagai umatnya di dunia, Diperpanjang umurnya..dsb"
Anak gadisnya menatap saya. Mata polosnya membuat saya tersenyum. Saya melangkahkan kaki dengan sandal baru saya.

'KLTAK KLTOK KLTAK KLTOK' itu bunyinya. sampai saya benar-benar pergi dari stasiun.

Setidaknya, jika memang tidak bisa bantu semua. Kita bantu saja dulu apa yang di depan mata. :)

for your information: Saya tidak tahan menggunakan sandal itu. Dan membuangnya selepas saya keluar dari stasiun. 


-12/07/2008-