bercerita singkat

Ya, kali ini saya hanya ingin berbahasa Indonesia, secara keseluruhan. Sebenarnya saya sangat suka menulis, tapi kadang-kadang jenis tulisan saya membuat dahi saya berkerut sendiri. Tapi keinginan saya menulis saya sekarang sedang meninju saya supaya menulis tulisan yang sesuai dengan hati saya sekarang. 

Oke, coba kita simak, apakah saya memang berbakat dalam bidang menulis atau saya memang lebih jago dalam menulis lagu dan lirik. (cieh..padahal enggak jago)


HUMOR TUHAN

Kehadiran matahari pagi ini mengundang sekumpulan awan-awan dari berbagai arah mata angin untuk membuat sekutu kelabu. Berbagai doa saya keluarkan demi tidak datangnya tamu yang enggan saya temui. Hujan. Saya bukan pembenci hujan, tidak ada penyakit phobia yang dilebih-lebihkan media, hanya saja, hari ini adalah waktu yang saya nanti-nantikan. Dan, apabila hujan datang, mungkin tidak hanya basah yang akan saya rasakan, namun juga kekecewaan. Begitu pentingnya hari ini, hingga saya sebagai orang yang tidak memiliki tingkat kereligiusan tinggi, mampu mengucap sembarang doa, agar Tuhan mendengarkan saya. 

Saya berada di pusat kota, di halte lebih tepatnya. Menunggu bis kota yang akan mengantar saya hingga tujuan. Tempat tujuan yang membuat jantung saya seperti akan loncat dalam hitungan detik. 

1...
2...
3...

Sebulir menitik. Tepat diatas ubun-ubun. Wajah saya merengut. Doa-doa saya sudah seperti bisikan lelucon untuk Tuhan. Masuk telinga kiri-keluar telinga kanan. Saya menatap langit dengan pandangan marah. Dan mendung menertawai saya, dengan mengeluarkan tetes tetes hujan dengan bulatan air yang besar. Percuma saya marah. Saya tidak bisa melawan semesta. 

Luapan emosi saya berbentuk helaan nafas panjang. Percuma. 

Bis kota telah datang. Terpaksa saya menerobos jendela air itu. Berusaha berlari secepat kilat, dan kaki saya terantuk aspal yang mengepal. Terjerembablah tubuh tambun ini. Dan pakaian yang sudah saya siapkan dengan konsep yang matang, lebih basah dan bernoda. 

Saya berdiri. Rasanya mata panas bukan kepalang, tumpukan air di pelupuk matapun sudah siap keluar.   Wajah yang sudah ditata apik, dibasuh dengan make up sederhana, luntur tak berbekas. Saya menaiki bis kota tersebut. Seperti lakon dalam tokoh film, penumpang dalam bis melihat saya dengan tatapan naas. 

Seorang lelaki dengan pakaian preman mendorong saya masuk, lebih dalam lagi hingga saya terdesak oleh para penumpang bis lainnya. Saya menggenggam erat tas tangan saya. Dan seorang pria berdiri, mempersilahkan saya untuk duduk di tempat yang dia duduki sebelumnya. Tanpa berterima kasih saya duduk. Pria tersebut tampak menyesal memberikan kursinya. 

Perjalanan terasa lebih panjang daripada biasanya. Hujan yang deras membuat lalu lintas lebih kacau. Saya kembali berdoa. Doa sembarang tentunya, saya hanya tahu surah Al-fatihah dan Al-ikhlas. berbelas-belas kali saya teriakkan dalam hati dengan mata memejam. Tetap, Lalu lintas tidak bergerak sedikitpun. Saya yang bukan pengguna jam tangan kelimpungan menanyakan jam pada penumpang yang duduk disebelah saya, tidak hanya sekali, mungkin, tiap 2 menit saya menanyakan pukul berapa sekarang. 

Oh Tuhan, tega sekali. 

3 jam perjalanan, dan saya baru bisa menginjakkan kaki di halte yang saya tuju, tujuan utama saya memang bukan halte, tapi dengan saya menaruh tapak kaki saya di halte ini, saya bisa sedikit bernafas lega. Lalu, saya berlari sekencang mungkin. Hingga saya menemukan sebuah, tempat makan sederhana di sudut jalan. 

Bangunan tua yang tertata manis, penuh bunga yang basah karena hujan yang tak urun berhenti. Saya dengan langkah tegas memasuki bangunan tersebut. Mencari, sosok yang membuat jantung saya melompat, membuat saya emosi dengan Tuhan, membuat saya lupa berterima kasih dengan orang yang memberi saya tempat duduk, lupa memberikan ucapan selamat jalan pada wanita yang memberi tahu waktu setiap menitnya pada saya. 

Dia.
Dia.

Kursi itu kosong. Cangkir pesanannya pun sudah tidak ada. Meja putih itu bersih tanpa ada bekas. Saya bungkam. Diam seribu bahasa. 3 jam memang waktu yang lama untuk menunggu. Kebahagiaan itu turun menjadi Kekecewaan. Tidak sesuai dengan ekspektasi bahwa hujan akan menghalangi kebahagiaan ini. Siapa yang bisa mengatur cuaca? Ya pasti Tuhanlah, tuh.. tahu jawabannya. Dan Tuhan seperti memberikan permainan lempar batu pada saya hari ini. 

Dan Hujan berhenti. 

Betul-betul mempermainkan mental. 

Saya duduk di meja putih tersebut. Memesan satu gelas teh hangat. Ukuran Jumbo. Dengan harapan, panas di hati ini akan meluntur ketika air teh hangat mengalir hingga terasa di dada. 

Kipas angin yang terpasang di sudut dinding dalam bangunan tua ini bekerja cukup keras, suara mesin yang hampir menyerupai batuk kakek-kakek tua menjadi sebuah nada tersendiri di gendang telinga saya. 

Entah kenapa, saya suka sekali berdoa. Masih dua doa yang sama saya dendangkan dengan lagu yang saya samakan dengan nada imajiner saya. Berharap akan datangnya solusi hati. 
Sebuah tangan menepuk bahu saya. Saya memejamkan mata pelan. Nafas saya tercekat. Hati saya kembali berdisko. Oh Tuhan. Ini Humormu? Kalau betul, ini sama sekali tidak lucu, batin saya sambil tersipu malu.


SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar