Jutaan bintang bertebaran di langit. Kakiku mulai mengambil langkah kecil menyusuri jutaan bintang-bintang itu. Kadang telapak kakiku tertusuk, kadang telapak kakiku terasa geli, kadang pula telapak kakiku merasa nyaman. Awan hitam menemaniku menari didepan bulan yang terlihat lebih pucat malam ini. Matahari yang hanya memberikan cahayanya sedikit pada bulan sedang tertunduk, mengantuk. Bagai manusia yang sekarang sedang terlelap menikmati bunga tidur yang sedang mekar di alam bawah sadarnya.
Aku terus menari, menari hingga lelah. Sayangnya, energiku terlalu besar menapaki bintang cerah dan langit hitam. Apalah arti melelah jika aku masih terjaga. Keindahan malam benar-benar membuatku membuka mata lebih lebar. Retinaku membesar saat aku menemukan sebuah lumbuk diantara rasi-rasi bintang. Kulewati rasi bintang yang membentuk beruang yang tampak kesepian.
Kumasuki pintu lumbuk itu. Dan benar saja, puluhan triliun bintang sedang berembuk dengan cahyanya yang luar biasa. Aku diam. Terperangah. Tergiur untuk mengambil satu bintang saja. Kubawa satu untuk menjadi prestasi besar dalam hidupku, untuk membuat bangga ibuku, bahwa aku berhasil meraih satu bintang dan kubawa pulang.
Kububarkan konferensi triliun bintang itu. Gairah yang kugendong menjadi sebuah nafsu. Nafsu yang menjerumuskan aku dalam sebuah kata, obsesi. Butiran keringatku mulai berjatuhan. Metabolisme tubuhku dinyatakan cukup bagus.
Apa yang terjadi?
Satu persatu bintang yang memiliki kekuatan cahaya super itu, meredup. Apakah karena keringatku? Tidak mungkin. Mereka kuat, dan mereka bisa buatku kuat. Tapi, mereka menjauh. Sangat jauh dari tubuhku yang mengejar.
Aku gontai. Lumbuk itu pecah dan hanya menjadi taburan bintang pada umumnya. Aku menangis. Menangis keras.
Apa yang terjadi?
Aku berhenti menangis. Kususuri bintang-bintang. Semakin kupijak, semakin aku menginjak tumpukan pasir hitam. Aku menginjak langit hitam, bukannya bintang. Aku kembali bersedih. Lumbuk bintang itu hancur, dan langit mulai memusuhiku.
Aku sendiri. Dan terisolasi.
Bulan masih berwajah layu, terdapat lingkaran hitam dibawah matanya. Aku mencoba mendekati bulan yang beratus-ratus juta tahun menetap di tempatnya.
"Bulan, apakah engkau memusuhiku, layaknya keluargamu yang lain?"tanyaku.
Bulan membuka matanya lebih besar saat aku bertanya.
"Tidak, tidak sama sekali, dan mereka tidak memusuhimu, dan aku pun bukan temanmu" jawabnya panjang lebar.
"Jika mereka tidak memusuhiku, mengapa mereka menjauhiku? Padahal aku memiliki maksud baik"
"Sekali lagi aku bilang, mereka tidak memusuhimu dan pula mereka bukan temanmu" jawab Bulan tegas.
Aku terdiam. Jadi, selama ini, aku sebenarnya sendiri. Dan aku tidak menyadari selama sepanjang malam aku berdansa bersama mereka. Jadi sebenarnya, siapa aku di mata mereka?
"Kamu adalah kamu yang bukan kamu" sahut Bulan, menguap lagi.
"Lalu, aku siapa?"
"Kamu adalah manusia yang diciptakan Tuhan. Buatlah hatimu seperti kamu dilahirkan kembali, jangan kau pupuk sifat yang sebenarnya tidak kau suka, dan sekali lagi, bintang-bintang itu bukan temanmu, jangan kau mencoba berharap lebih dari mereka" Bulan kembali menguap, dan benar-benar tertidur.
Matahari menggeliatkan lidah apinya. Wajahnya tersenyum. Dan dia menyapaku.
"Halo, tempatmu bukan disini"
Dan salah satu lidah apinya mendorong tubuhku, hingga terlempar jauh dari mereka. Aku dilemparkan ke bumi. Kembali dengan nyaman diatas tempat tidurku.
Aku terdiam. Lagi. Melihat matahari memancarkan sinarnya. Dan, aku menyadari, sesungguhnya aku bukanlah siapa-siapa. Namun aku betul-betul mencintai mereka. Mencintai keindahan mereka yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Suatu saat, suatu saat aku akan bersama mereka, dengan caraku sendiri, tentu saja, dengan cara yang aku suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar